Sabtu, 19 Juli 2008

Angkringan Top Jogja

Menyandang peran sebagai kota pendidikan, tentunya tak lengkap jika Jogja tidak mempunyai sarana hajat perut. Ya,warung makan merupakan sarana yang harus ada di kota yang hampir 60 % penduduknya adalah pendatang untuk kuliah. Namanya anak kuliahan kost-kostan, seabrek kesibukan di kampus membuat mereka tak mungkin (atau emang malas) untuk memasak sendiri untuk sehari-hari. Peluang inilah yang membuat menjamurnya bisnis makanan dari warung sederhana, lesehan,angkringan,cafe sampai restoran cepat saji. Para anak kost termanjakan oleh keadaan ini. Parahnya, orang asli Jogja (baca : pemilik kost;induk semang;inang kost)-pun akhirnya ikut-ikutan manja. Cuman masak nasi di pagi hari,masukkan magic jar, lauk dan sayur beli di warung makan. Gaya anak kost-kostan malah menular ke induk semang.

Secara bahasa, indekost berasal dari bahasa Belanda ‘in de cost’ artinya ‘makan di dalam’. Maksudnya pada jaman dulu anak-anak pejabat atau bangsawan pribumi dititipkan (bayar lho..) ke keluarga Belanda agar belajar bahasa dan adat istiadat Belanda. Tentu saja ketika numpang di keluarga Si Meneer mereka juga ikut makan bersama. Jadi indekost yang asli itu ya si anak kost dapat jatah sarapan,makan siang dan makan malam bersama induk semang.

Jaman berubah. Indekost-pun mengalami pergeseran makna dan budaya. Sekarang anak kost tidak lagi ada jatah makan di rumah (malah kalo ada kost seperti itu sekarang,malah yang dengar terheran-heran,”kayak hotel aja..”). Mereka pagi-pagi sudah stand by di warung-warung sekitar kost mereka. Yang bikin aneh, para induk semang ternyata juga ikut-ikutan ke warung makan beli keperluan mereka. Bertemu dengan anak kostnya sambil berbincang akrab.
Andai saja para induk semang itu membaca riwayat indekost ini tentu mereka akan (minimal) malu ketemu anak kostnya di warung makan. Andai saja para anak kost membaca tulisan ini, tentu mereka akan tersenyum nyengir jika bertemu dengan ibu kost di warung makan. Senyum itu kira-kira mengatakan demikian :
“ Hei, harusnya Anda ngasih sarapan saya pagi ini di rumah. Koq malah ikut-ikutan
ke warung ki piiyee....! ”
Sebagai anak kost, keahlian utama untuk bertahan hidup adalah mencari warung makan yang enak, porsi cukup (baca : banyak) dan tentu saja yang murah. Angkringan adalah alternatif warung makan khas yang murah,tentu jika mampu memanage-nya. Dari ratusan angkringan di Jogja, tentu ada yang terfavorit.
Perhatian : karena berhubungan dengan taste dan setiap orang mempunyai taste yang berbeda, penulis mohon maaf jika terjadi perbedaan dalam persepsi suatu kenikmatan makanan. Selanjutnya tulisan ini mungkin bisa dikatakan subyektif, tapi yakinlah tidak ada maksud (iklan/sponsor) dalam penulisannya.

Angkringan terpopuler di Jogja terletak di utara Stasiun Tugu. Kalau berjalan dari Malioboro, kita tinggal menyebrang rel kereta api ke utara sampai ujung tembok pagar Stasiun Tugu . Ada jalan ke kiri masuk sedikit dan menemukan angkringan itu menempel dengan pagar tembok utara Stasiun Tugu. Kalau dari Tugu, kita tinggal menyusuri Jl. Mangkubumi ke selatan.( sebenarnya enggan pakai petunjuk arah mata angin. Tapi agar cerita jadi mantab, akan tetap digunakan. Yang dari Sumatra...sori ya...) . Sebelum Stasiun Tugu,di sebelah barat ada jalan kecil, masuk sedkit dan pada tembok pagarnya terdapat warung angkringan. Itulah angkringan yang biasa disebut Angkringan Pak Pri. Eiit, tunggu dulu. Jika anda datang memakai kendaraan bermotor, mata anda harus awas, karena jalan kecil itu termasuk jalan satu arah. Pengin tertib ya putar lewat depan Samsat Polresta terus ke timur. Paling enak ya...sampai ujung Jl. Mangkubumi, turun dari motor (paling nyaman jalan-jalan di jogja ya pakai motor), tuntun masuk jalan dan parkir di depan angkringan.
Angkringan beroperasi sejak sore. Pelanggan utama waktu ini adalah para karyawan yang baru pulang dari aktifitas di kantor. Hanya memesan segelas teh panas, ngobrol sampai maghrib. Minuman mau habis, tinggal bilang ke waiter (wee..) " jog", maka gelas kembali diisi air teh panas dan pahit. Karena jog memang ga pakai gula, soalnya gratis. Oh,ya..obrolan yang terjadi sudah tingkat tinggi lho. Politik dan nasib rakyat menu utamanya. Jadi kalau kita rutin datang pas waktu sore begini, lama-lama kita bisa ikut pinter karena sering terlibat diskusi.
Menjelang malam giliran para pasangan-pasangan tua datang dan beli. Biasanya dibawa pulang untuk makan malam. Malam hari ( pukul 20.00 up) giliran anak-anak muda yang berebut untuk makan. Antrean-pun terjadi seperti pas pembagian BLT. Nah, datang malam hari bikin kita tambah blo'on. Kenapa ? Kebanyakan yang datang adalah pasangan muda mudi. Anak pacaran-lah istilahnya. Yang jomblo hanya bisa datang dengan teman kost atau yang paling parah ya sendirian. Lihat kanan kiri, ga ada yang bisa diajak ngobrol, akhirnya kayak monyet kena ketapel deh..
Apa yang enak dan khas di sini ? Teh. Ya, minuman teh-nya adalah yang paling nikmat. Rasanya sepet, manis, wangi dan waskito. Waskito itu istilahnya merasa jadi raja. Enak banget.
Saking enaknya, penulis sampai mencari sisa bungkus tehnya. Setelah mendapatkan di swalayan, mencoba buat miuiman teh sendiri. Tapi rasanya lain, ga seenak pas di angkringan. Ini mungkin ( sok jadi ahli kuliner...) , air yang digunakan adalah air yang diambil dari sumur jernih yang dasarnya berpasir serta penggunaan arang yang terbuat dari kayu khusus. Orang ahli minum teh atau kopi akan mengatakan bahwa yang paling nikmat adalah teh/kopi yang diseduh dengan arang atau kayu tertentu. Kalo kopi ya pakai kayu turi. Minyak tanah atau gas elpiji tidak akan menghasilkan rasa air yang nikmat dan khas. Memang penggunaan arang untuk memasak di angkringan/lesehan masih menjadi primadona di Jogja. (Di Pasuruan, Bakmie Jawa Pekus, Jl.Wahidin Selatan, depan Kantor Diknas Pasuruan, juga menggunakan arang [tungku arang disebut anglo]. Bahkan yang punya pernah bilang ke penulis kalo tidak ada arang hari ini maka dia tidak akan jualan).
Masalah harga ga jauh beda dengan angkringan lainnya. Omzet per-malam ? Angkringan ini, walaupun terkesan kumuh, dalam semalam bisa beromzet sampai Rp.1,5 juta. Pemilik biasanya cuma menyediakan minuman saja. Nasi bungkus, gorengan, serba sate, krupuk dan lain-lain merupakan setoran dari orang lain. Biaya produksi nasi dan semacamnya Rp. 0. Omzet yang didapat bisa dikatakan 50 % -nya adalah penghasilan bersih sehari. Jadi sekitar Rp. 750 ribu. Sebulan ? ya kalikan aja 30 hari. Ketemu Rp. 22,5 juta. Bisa jadi jutawan dari angkringan !!
[Teman penulis, siang kuliah malam jualan di angkringan. Katanya sebulan bisa dapat Rp.1,5 juta, karena dia cuma menjalankan saja, ga bikin sendiri. Uang segitu cukuplah untuk biaya kuliah plus biaya sehari-hari, malah bisa menabung lagi.]
Jadi seperti itulah yang namanya angkringan, kucingan, hik atau warung Klaten. Selanjutnya ada liputan tentang kuliner yang lain. Tunggu kabar selanjutnya.

Tidak ada komentar: