Minggu, 07 September 2008

Ramadhan dan Derita Para Ustad


Ramadhan merupakan keberkahan bagi kaum muslimin. Saling berlomba-lomba meningkatkan amal ibadah merupakan suatu keniscayaan. Majelis-majelis pengajian bermunculan. Ceramah-ceramah diadakan di masjid-masjid dan mushola. Bahkan di hotel berbintang pun diadakan sholat tarawih dan tentu saja mendatangkan penceramah yang kondang yang setidaknya wajah atau suaranya telah dikenal oleh masyarakat. Kasus hotel seperti ini bisa kita bahas seperti ini :
Pertama, dari sudut pandang sang ustad. Sang ustad berpikir bahwa hal ini merupakan bentuk pelayanan rohani hotel terhadap tamu, karyawan dan masyarakat sekitar. Dan itu tak ubahnya seperti masjid atau organisasi keagamaan yang menyelenggarakan hal yang sama.
Ah,sok tau hati orang aja !
Bukannya sok tahu. Seorang ustad setidaknya akan beranggapan seperti itu karena beliau harus mensuasanakan hatinya agar terhindar dari berburuk sangka, kan ? Diundang mau datang tapi koq su'udzan, ini kan gak baik.
Kedua, dari sudut pandang tamu dan warga sekitar. Dari orang-orang ini kita dapat pandangan penyelenggaraan seperti ini agar hotel mendapat keberkahan dari bulan Ramadhan. Datang ikut acara dan berharap tahun depan bisa diadakan acara yang sama.
Ketiga, dari sudut pandang pihak hotel, maksudnya manajemen hotel. Tentu saja acara seperti ini merupakan bentuk marketing / pemasaran agar hotel lebih dikenal. Yang namanya manajemen itu kan tugasnya memanage agar hotel lebih maju kan ?
Acara seperti ini tentu saja memerlukan budget besar. Mulai akomodasi acara, konsumsi dan transportasi untuk ustad yang standar hotel.

Berbeda 180 derajat dengan hotel. Delapan tahun lalu. Di suatu sudut kota Jogja terdapat kampung kost dengan masjid yang sederhana. Udah, pendek kata ini masjid kampung kostku dulu. Masjid pun tidak ketinggalan menyelenggarakan ceramah. Hanya saja tidak dengan fasilitas hotel tentunya. Biasanya penceramah yang datang langsung ditodong menjadi imam sholat isya', dilanjutkan ceramah terus menjadi imam sholat tarawih. Tradisi ini sudah berjalan bertahun-tahun. Dan memang tidak ada keluhan sama sekali dari para penceramah tersebut. Sampai suatu hari....
Penceramah asli tidak bisa datang dan digantikan yang lain . Kebetulan penggantinya adalah orang kenalanku, mahasiswa S-2 Filsafat dari Sumatra Barat. Sebut saja Pak An. Ah, jadi kangen sama beliau... Beliaulah yang pertama kali mengenalkan aku dengan tongseng kambing, masakan khas Jogja.
Beliau pun didapuk untuk mengimami Sholat isya'. Suaranya yang menggelegar dengan bacaan Al Qur'an yang fasih membuat sholat terasa khusyu'. Setelah itu lanjut ceramah. Tidak panjang-panjang, cuman 15 menit lah. Dilanjutkan sholat tarawih 8 rakaat dengan tiap 2 rakaat 1 kali salam dan ditutup witir 3 rakaat. Setelah sholat selesai, seperti biasa panitia pun mengucapkan terima kasih. Dulu, tidak ada uang transport untuk penceramah pengganti seperti ini. Kan cuman lokalan, pengganti lagi. Hanya saja kemudian beliau bilang kalau tadi sempat kehausan saat mengimami sholat tarawih. Kata beliau, "tolong besok kalau saya mengimami lagi, tolong disediakan air putih satu gelas, biar kerongkongan saya tidak kering". Penceramah lain tidak ada yang ngomong seperti itu. Mungkin malu kali ya. Sejak itu kami pun selalu meletakkan satu gelas air putih di mihrab imam agar imam bisa tetap segar memimpin sholat kami.

Sederhana memang. Kelihatan sebagai sesuatu yang kecil saja. Bahkan hampir tidak terpikirkan oleh kita. Tapi ini tentu saja merupakan hal yang baik yang perlu digalakkan. Memberi minum lalat saja bisa menyebabkan masuk surga. Apalagi untuk seorang penceramah dan imam sholat kita. Ustad juga manusia. Jangan dibiarkan saja kehausan sementara kita selalu merasa haus akan ilmunya.

Bayangkan yang lebih tragis lagi. Seorang kawan dari UIN Sunan Kalijaga baru saja menyelesaikan program KKN. Di desa tempat KKN-nya mengadakan sholat tarawih dengan jumlah rakaat 20 dan witir 3 rakaat. Dia didapuk menjadi imam sholat. Masjid memiliki mihrab (tempat imam) dengan ventilasi yang minim. Bahkan hampir tidak ada kecuali lubang berbentuk segitiga berukuran 10X10X10. Cuaca yang panas dan jumlah jamaah yang membludak (maklum awal-awal,semoga akhir nanti tetap sama) membuat suhu ruangan masjid semakin pengap. Keringat bercucuran. Kerongkongan kering. Berpacu dengan waktu. Dan tiba-tiba di tengah-tengah sholat dia hanya bersandar di dinding mihrab. Rupanya dia sudah hampir pingsan kehabisan oksigen.

Ini hanya untuk ustad kampung. Untuk ustad yang kondang pun sebenarnya nasibnya ga jauh beda. Cuman tidak kelihatan saja karena memang imagenya harus dibuat setegar mungkin.
Pada saat seperti ini setan dari para ustad kondang ini adalah EO atau Even Organizer. Mereka membuat acara (tentu saja cari duit) yang membuat waktu dan tenaga sang ustad benar-benar terkuras. Bahkan, di bulan Ramadhan ini ada ustad yang tiap hari loncat dari satu majelis ke majelis yang lain. Dari TV satu ke TV lain. Keluarga pun harus rela ditinggal. Sahur dan buka puasa abi tidak ada di rumah...hiks....

K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus) punya cerita menarik soal ini. Pernah beliau sowan ke gurunya, seorang Kyai sepuh / dituakan. Beliau (Gus Mus) bercerita kalau beliau sering diundang kesana kemari sehingga hak keluarganya, hak santri di pesantrennya dan hak masyarakat sekitar pesantren terabaikan karena waktu dan tenaganya habis memenuhi undangan itu. Kadang undangan itu bisa sampai larut malam.Capek kan ? Terus kapan mau tafakkur, dzikir dan amalan lain. Kyai sepuh ini pun bercerita pernah mengalami hal yang sama. Akhirnya beliau menggunakan jurus ampuh agar hal ini tidak terjadi. Beliau pun memasang tarif sangat mahal untuk ukuran waktu itu. Dan akhirnya tidak ada yang berani mengundang beliau lagi. Gus Mus mengatakan " Saya belum bisa melakukan itu, maqom (tingkatan rohani) saya belum sampai. Saya masih takut dianggap mata duitan dan dijauhi umat. Sedangkan Mbah Kyai beda, yang diperhatikan hanya penilaian Allah saja. Beliau tidak mempedulikan penilaian dari manusia lagi".

___________________my diary________________________
Blank !!!...................
aku nulis ini dengan pikiran kacau. Keponakanku, si kecil Fathir sedang sakit. Masuk rumah sakit lagi. Ga tau sakit apa. Ibunya dihubungi HP-nya ga aktif. Pengin pulang Pasuruan tapi masih ada urusan di Jogja.
Banyak tetangga bilang Si Fathir ini mirip aku waktu kecil. Usianya baru 18 bulan. Memang rata-rata gitu kok. Di hadist aja ada anjuran kalau cari istri lihat juga kakak dan atau adiknya. Karena nanti anak kita akan mirip dengan paman atau bibinya. InsyaAllah hadistnya bisa dipertanggungjawabkan. Entar taktampilin aja fotonya di blog ini. Semoga cepat sembuh ya...


HAI PEMBACA !!!

JANGAN DIAM AJA, AYO IKUTAN DOAIN FATHIR !!!

Tidak ada komentar: